KOMPAS 10 April 1994
KABAR baik menjelang akhir tahun lalu adalah tercapainya ketetapan hati pemerintah akan mengangkat Panitia Penanggulangan AIDS melalui suatu Keputusan Presiden. Lama sebelum ini penanganan masalah tersebut hanya dilakukan Departemen Kesehatan melalui salah satu direktorat jenderalnya. Artinya, dengan kebijakan baru tersebut urusan diangkatnya ke tingkat Menko Kesra, sehingga pembinaannya bersifat antardepartemen.
Kebijakan baru tersebut sekaligus memberikan indikasi Pemerintah RI tidak mau kecolongan. Salah satu negara tetangga Indonesia merespons dingin-dingin saja pada stadium awal perkembangan AIDS memasuki negeri itu, dan ternyata dalam perkembangannya kemudian sulit mengendalikan penyakit tersebut. Penderita AIDS di negeri itu dewasa ini mencapai sekitar 500.000 orang.
Penyebaran AIDS
Sampai masuk dekade kedua semenjak AIDS muncul pada tahun 1981 di Amerika Serikat, penyakit ini terus meminta korban. AIDS berkembang menjadi pandemi, menjelajah seantero dunia. Sampai awal 1993, kasus AIDS yang dilaporkan kepada WHO dari 173 negara. berjumlah 611.500. Tetapi Badan Kesehatan Sedunia itu memperkirakan jumlah kasus AIDS yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan, yaitu sekitar 2,5 juta kasus. Dari jumlah tersebut 1.500.000 kasus keberadaannya di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Sementara itu laporan WHO mengenai orang yang sudah terinfeksi HIV, kuman penyebab AIDS, menyebutkan jumlahnya telah mencapai 13.000.000 orang, umumnya penduduk di negara-negara dunia ketiga yang miskin. Diperkirakan setiap 8,5 detik HIV menginfeksi seorang korban barunya.
Indonesia sudah mulai diterjang epidemi AIDS semenjak kasus AIDS pertama dilaporkan dari Bali tahun 1987. Penyebarannya begitu cepat, sehingga menurut hasil monitoring Depkes, sampai tanggal 15 September 1993 terdapat 172 orang terdiri dari 42 penderita AIDS dan 130 pengidap HIV yang dilaporkan dari 11 propinsi.
Menteri Kesehatan pada minggu kedua Desember 1993, menyatakan kasusnya sudah meningkat menjadi 187. Fenomena gunung es diperkirakan berlaku untuk kasus AIDS ini. Jumlah yang dilaporkan hanya yang terlihat di permukaan saja, sedangkan sebagian besar berada di bawah permukaan dan belum mampu dipantau. Penyebaran AIDS di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Suatu epidemi AIDS yang besar seperti yang sampai sekarang sedang melanda Thailand, India dan Myanmar, tidak mustahil bisa terjadi di Indonesia. Ada tiga fakta epidemiologik yang mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti itu. Pertama, penularan HIV di Indonesia sudah eksponensial, sudah cepat sekali (tahun 1991 terjadi 18 kasus, 1992 terjadi 36 kasus dan sampai pertengahan Desember 1993 terjadi 187 kasus). Kedua, sumber infeksi HIV penyebab AIDS sudah tersebar di banyak propinsi (tahun 1987 terjadi hanya di satu propinsi, tahun 1993 sudah menjangkau 11 propinsi). Ketiga, secara geografis Indonesia terkepung oleh negara-negara tetangga yang mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi.
Mengenal HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) bukan penyakit keturunan. Acquired artinya diperoleh, sedang immune deficiency adalah kekurangan kekebalan, yaitu kekebalan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan kuman penyakit apa saja; dan arti syndrome ialah kumpulan gejala dan tanda penyakit. Penyebab AIDS adalah virus yang dikenal dengan nama HIV (Human Immuno-deficiency virus).
Masa inkubasi, jangka waktu sejak orang mulai terinfeksi HIV sampai munculnya gejala AIDS berkisar 5-10 tahun. Mereka yang sudah terinfeksi HIV pada tahun-tahun pertama tidak dapat dikenali, karena yang bersangkutan terlihat sehat-sehat saja tanpa sesuatu keluhan. Identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium darah orang bersangkutan.
Penularan HIV terjadi melalui empat cara: hubungan kelamin (seksual), melalui alat tusuk/suntikan (parenteral), transfusi darah, dan dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya (perinatal). Sebagian besar, lebih dari 90 persen penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial biasa seperti jabatan tangan, berpelukan, berenang dalam kolam renang, memakai alat makan dan minum, menggunakan toilet atau menggunakan telepon yang sama dengan pengidap HIV. Juga tidak ditularkan melalui keringat, air mata dan gigitan serangga/nyamuk. Pendeknya tidak menular seperti cara menularnya penyakit menular pada umumnya. Tapi bedanya juga, sampai saat ini belum ada obat penyembuh AIDS. Vaksin untuk menjadikan orang kebal terhadap HIV/AIDS juga belum ada, sehingga dunia kedokteran meyakini, mereka yang terinfeksi HIV akan meninggal dunia karena AIDS.
Sumber daya manusia
Titik tekan program pembangunan Indonesia dalam PJPT II adalah pengembangan sumber daya manusia. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang harus dibangun dan dikembangkan sebagai bagian dari usaha pengembangan sumber daya manusia.
Sampai dengan tanggal 31 Juli 1993, mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur ternyata penderita yang berusia 20 - 39 tahun menduduki 72,7 persen dari seluruh penderita HIV/AIDS.
Terbaca dari laporan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2M PLP, Depkes RI tersebut, korban infeksi HIV/AIDS justru terbesar dari tingkat usia paling produktif. Keadaan ini dengan proyeksi perkembangan ke depan, bisa cukup mengganggu program pengembangan sumber daya manusia.
Jika kita cermati cara penyebarluasan atau penularan HIV di Indonesia, terlihat sangat dipengaruhi berbagai bentuk perilaku risiko baik oleh pribadi maupun kelompok. Penularan HIV yang melalui hubungan seksual terjadi pada orang-orang yang perilaku hubungan seksualnya tidak sesuai dengan ajaran agama. Mereka adalah yang berganti-ganti pasangan karena menganut paham seks bebas, atau mereka yang akrab dengan praktek pelacuran. Perilaku seperti ini diketahui tidak saja berkembang di perkotaan, tapi juga mencapai daerah-daerah pinggiran.
Cepat lajunya penyebaran HIV antara lain juga karena masih lemahnya pelayanan kesehatan masyarakat (konseling dan penyuluhan kesehatan yang belum memadai, pemberian suntikan dengan alat yang tidak steril, skrining donor darah).
Akar munculnya perilaku risiko di masyarakat adalah tiga faktor mendasar yaitu kemelaratan, ketidaktahuan dan kekurangtaatan kepada ajaran agama. Praktek pelacuran sebagai sumber penularan HIV/AIDS misalnya, menjadi semakin berkembang karena adanya kemelaratan pada kelompok masyarakat dipadu dengan kekurangtaatan kepada ajaran agama pada mereka dan pada kelompok masyarakat "pemakai jasa" mereka.
Tokoh agama
Disadari oleh banyak pihak, khususnya mereka yang harus berhadapan langsung dengan tugas penanggulangan penyebaran HIV/AIDS dan mereka yang menangani bidang pengembangan sumber daya manusia, peran serta tokoh agama dalam usaha menanggulangi penyebaran HIV/AIDS sangat diperlukan. Lebih-lebih tokoh agama dalam wujud para dai, para mubalig Islam, para ustadz dan ustadzah, karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam.
Pada dai, mubalig, ustadz dan ustadzah dapat melakukan fungsi sebagai penyebar informasi tersebut, sekaligus memberikan petunjuk dan bimbingan yang lebih konkret mengatasi dan menyikapi kemelaratan, meluruskan sikap kurang taat kepada ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan perilaku yang telah menjadi pemicu lajunya penyebaran HIV/ AIDS di kalangan manusia Indonesia.
Jika saja para khatib shalat Jumat dapat melaksanakan gerakan itu, berjuta-juta manusia Indonesia dapat dijangkau, Dapat diperhitungkan, 87 persen orang Indonesia yang berjumlah 190.000.000 beragama Islam. Karena lebih dari seperduanya wanita yang tidak wajib bersembahyang Jumat, sebagian lagi laki-laki dewasa yang kurang taat melakukan ibadah sembahyang, sebagian lagi masih anak-anak, maka katakanlah 50.000.000 orang di antaranya setiap hari Jumat mendengarkan khotbah dari para kiai yang bertindak sebagai khatib. Khotbah jumat rata-rata memakan waktu sekitar 20 - 30 menit. Kalau saja para khatib tersebut didekati, diajak bicara, berkhalaqah, berlokakarya, kemudian bersedia berperan serta dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS, dibekali dengan informasi-informasi tentang epidemi ini, mereka akan mampu melakukannya.
Sudah menjadi kerja rutin para khatib shalat Jumat berdakwah meluruskan perilaku seks yang tidak menaati ajaran agama. Setiap kali isu itu muncul sebagai isi khotbah. Jika kemudian dipadu dengan informasi tentang HIV/AIDS dan bahaya besar yang dikandungnya, akan menjadi paduan informasi yang mudah disebarkan lebih lanjut oleh para jamaah. Penyebaran kemasan informasi tersebut akan dapat menembus kalangan yang malas atau tidak wajib ke masjid untuk shalat Jumat seperti kaum wanita. Bahkan tidak mustahil akan sampai pula kepada kelompok sasaran berisiko tinggi.
Pengorganisasian dan dukungan sumber daya lainnya merupakan prasyarat jika gagasan ini hendak direalisasikan. Mungkin justru di sini peran Panitia Penanggulangan AIDS yang sedang ditunggu kelahirannya itu. Gagasan ini pun baru berkait dengan tahap pencegahan. Masih banyak lagi yang harus ditangani, tahap diagnose, tahap pengelolaan kasus dan post mortem. ***
(H. Said Budiary — Direktur Lakpesdam NU, Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nandlatul Ulama)
0 Response to "Peran Tokoh Agama Menanggulangi HIV/AIDS"
Posting Komentar