Oleh.
N. Daldjoeni
UK Satya Wacana Salatiga
HARIAN SURYA 4 MARET 1992
Dua tahun lalu ketika dalam konferensi iptek dan ekonomi di Washington DC (18-11-1990) Indonesia dituduh ceroboh dalam memelihara hutan-hutan tropisnya. Menteri Habibie balik berseru agar negara-negara industri maju membantu kita dalam usaha rehabilitasinya. Dijelaskan pula bahwa setiap tahunnya Indonesia sendiri sudah mengeluarkan 3000 juta dollar untuk tindakan reboisasi.
Baru-baru ini Prof. Johannes tak terima jika dikatakan bahwa banyaknya pembakaran hutan di luar Jawa berkaitan dengan pertanian berladang, telah menyumbangkan banyak CO2 dan CH4 ke udara, sehingga meningkatkan efek rumah kaca bagi dunia kita secara global. Reaksinya: Tidakkah dunia industri Barat itu yang paling banyak menggunakan minyak dan gas untuk pembakaran?
Mungkin pembaca ikut pula membela tokoh-tokoh ilmuwan kita di atas dengan gagasan ini. Jika toh di negara kita ini rakyatnya masih dianggap kurang sadar lingkungan, terutama itu berlaku bagi pihak-pihak yang sembrono mengeksploitasi hutan-hutan berskala besar. Adapun rakyat biasa yang berkesadaran lingkungan tradisional lebih dapat diandalkan keseriusannya menjaga kelestarian lingkungan. Tulisan berikut ingin membahas hal tersebut.
Kesadaran lingkungan tradisional
Pepohonan rimbun di sekitar belik (sumber air) tak akan ditebangi oleh penduduk, karena dipercaya menjadi tempat bersemayamnya roh-roh para cikal bakal desa. Semakin takut penduduk melanggar wewaler tersebut, semakin lestarilah lingkungan alam. Tetapi kelestarian lingkungan tadi tak berdasarkan rasio. Menurut pemikiran mereka matinya sumber air bukan akibat tindakan penebangan pepohonan sebagai penahan air tanah, tetapi kutukan nenek moyang yang tak merestui penebangan itu.
Kesadaran lingkungan seperti di atas yang berselubungkan takhayul bukanlah yang kita inginkan sekarang. Sebab jika kesadaran lama yang dipakai, datangnya sekolah-sekolah di desa yang mengajarkan bahwa roh-roh, lelembut, thuyul, dhemit dan sebagainya itu tak ada sama sekali, lantas akan mendorong orang, semaunya menebangi pepohonan tadi karena dapat dijual. Di sinilah ekonomi mulai melawan ekologi.
Kelestarian hutan-hutan di Jawa di masa lampau pun bukanlah berkat kesadaran lingkungan nenek moyang kita. Orang takut membabat hutan karena keangkerannya. Misalnya Alas Roban, hutan antara Semarang dan Pekalongan begitu angkernya sampan ada sebutan jalma mara, jalma mati (manusia datang ia mati).
Tetapi di zaman sekarang orang tak takut kuwalat (terkutuk) membabatnya. Demi keuntungan orang berani membabatnya dan kalau perlu dengan menyogok tim pengawas. Lalu sebutannya: jalma mara alas musna (manusia datang hutan pun lenyap).
Ekologi, inklusionisme
Dari sekian banyak ilmu, hanya biologilah, termasuk ke dalamnya ekologi, yang tergesa-gesa mengajarkan faham inklusionisme yaitu bahwa manusia itu bagian dari alam. Karena itu dalam ilmu kedokteran pasien dilihat terutama sebagai gejala alam. Sebenarnya selain manusia itu bagian dari alam (man in nature), juga berlaku alam di dalam manusia (nature in man).
Tubuh kita kan memuat air, udara, tanah dan api, empat unsur alam yang pokok. Dua pertiga dari bobot badan kita berasal dari air yang terkandung di dalamnya. Jika tubuh dikeringkan menjadi mumi, bobotnya kan tinggal sepertiganya dari yang semula.
Kita bernafas dengan mengeluarkan dan memasukkan udara. Daging dan tulang-tulang kita secara kimiawi memuat unsur-unsur tanah, karena yang kita makan itu hasil dari bumi. Manusia sewaktu hidup suhu tubuhnya 37C. Panas badan itu api kita yang padam bersama kematian kita. Menurut filsuf Yunani kuno, Anaximenes dan Heraclitos sumber dari kehidupan itu empat unsur bumi, api, air, udara dan tanah.
Filsafat India yang terpengaruh filsafat Yunani zaman Hellenisme kemudian mengendap dalam pemikiran orang Jawa dan Bali, sehingga kita juga mengaku empat unsur alam tadi, agni (api), tirta (air), maruta (udara) dan bantala (tanah).
Sehubungan itu Prof ECJ. Mohr pakar pedologi (Ilmu tanah) Belanda menjelaskan kesuburan pulau Jawa (gemah ripah loh jinawi) akibat berkat hadirnya empat faktor, vulkanis (api), hidrologis (air), klimatis (udara) dan pedologis (tanah).
Dalam kamus Jawa-Belanda kuno (Vreede en Gericke, 1868) saya temukan makna terinci dari gemah ripah loh jinawi, sebagai berikut; gemah itu padat penduduk (volkrijk), ripah maksudnya makmur (overloed), adapun loh maknanya subur (vruchtbaar) dan jinawi itu banyak air (waterrijk). Saya rasa ini lebih betul daripada tafsiran I Nyoman Nurjaya, SH yang menulis, lohji-biji dan nawi-benih (Suara Merdeka, 3/9/90). barangkali dalam bahasa Bali memang demikian itu artinya.
Ekonomi: eksklusionisme
Ilmu-ilmu lain yang bukan biologi melihat manusia berada di luar alam, sehingga berlaku di situ faham man and nature. Manusia diperhadapkan dengan alam. Hal ini nampak jelas pada ilmu ekonomi alam sebagai sumberdaya perlu digarap, dimanfaatkan, bahkan diperas potensinya. Lewat praktek overeksploitasi alam, ekonomi mendorong perusakaan terhadap alam, sebaliknya ekologi dipuji karena menyadarkan manusia untuk melestarikan alam.
Ironis sekali bahwa ekonomi dan ekologi yang sama-sama berakarkan kata oikos (rumah tangga) dapat begitu bertolak belakang tata kerjanya. Tetapi sebenarnya ekonomi selalu merangsang manusia agar jangan serakah, ia harus berhemat karena yang dibahas ekonomi itu kalangkaan. Persamaan dengan ekologi juga ada, ekonomi dan ekologi sama-sama ingin mengusahakan homeostasis equilibrium (keseimbangan ajeg yang mengatur sendiri).
Ekonomi dalam makna rumah tangga manusia mengejar seimbangnya pengeluaran dengan pemasukan, sedang ekologi sebagai rumah tangga alam mendambakan agar kerusakan diimbangi dengan usaha konservasi (pengawetan) dan preservasi (pelestarian).
Agama Kristen dan Islam melihat manusia itu inklusif alam tetapi juga eksklusif alam. Secara jasmani ia itu bagian dari alam, karena Adam diciptakan Allah dari tanah, setelah mati manusiapun kembali menjadi tanah. Adapun secara rohani ia berada di luar alam, karena Allah berkenan menyebulkan nafas ke dalam hidung Adam. Karena itu rohnya kemudian juga akan kembali kepada Allah.
Di dalam kepercayaan Kejawen tak dipersoalkan hal inklusionisme dan eksklusionisme tadi. Yang penting di sana manusia itu jagad cilik yang dalam segala perilakunya haruslah serasi dengan alam semesta yakni jagad gedhe. Keseimbangan ekologis pun sebenarnya terletak pula dalam berharmonisnya mikrokosmos dengan makrokosmos itu.
Pendidikan etika lingkungan
Jauh sebelum ada Club of Rome (1972) yang memprihatinkan rusaknya lingkungan secara global, filsuf Schweitzer yang bermukim di tengah hutan rimba benua Afrika di tahun likuran (duapuluhan) mendambakan adanya etika lingkungan. Kuncinya adalah reverence for life (menghormati kehidupan). Diajaknya umat manusia agar menghargai setiap ekspresi kehidupan, termasuk tetumbuhan, berdasarkan akal, rasa dan iman. Kita harus melihat pohon itu sebagai sesuatu yang indah, dan secara religius sebagai ciptaan Allah yang mengagumkan.
Di zaman pembangunan kini, di mana bangsa kita harus bergaul dengan alam dengan cara yang sebaik-baiknya, sudah sewajarnya etika lingkungan dididikkan kepada masyarakat dengan bijaksana. Dengan sekadar mengandalkan pada bekal kesadaran lingkungan, model yang diwariskan oleh nenek moyang yang berlandaskan kepercayaan kuno (magis-mistis). Akibatnya seperti ditulis di atas, bisa mengecewakan. Sebab dengan datangnya sekolah-sekolah dan pengaruh pemikiran ilmiah, segala bekal tadi akan goyang berceceran dan merugikan.
Ideal sekali apabila sambil membuang bekal tradisional yang lama, bersama itu masyarakat terutama generasi mudanya, diberi didikan etika lingkungan baru yang coraknya religius, ilmiah dan estetis seperti dijelaskan di atas. Etika lingkungan ini mencakup relasi manusia dengan alam di mana kebenaran diartikan hadirnya fungsi melestarikan integritas, stabilitas dan keindahan pada komunitas biotis. Sebaliknya, sesuatu itu tidak benar, apabila fungsinya berlawanan dengan prinsip-prinsip itu semua.
0 Response to "Kesadaran lingkungan: Religius, ilmiah, dan estetis"
Posting Komentar